Jumat, 27 Februari 2009

Kyai di Persimpangan Jalan antara Pesantren dan Politik

Istilah Kyai dalam tataran masyarakat indonesia tidak hanya bermakna ahli dalam agama tetapi jika ditinjau dari makna antropologis bahwa kyai adalah orang yang mampu dalam segala tataran masalah kehidupan sekaligus juga sebagai kontrol sosial, dari ahli agama sampai ahli cocok tanam. Kyai bagi masyarakat adalah orang pilih tanding.

Pesantren merupakan lembaga non formal tertua dalam tradisi pendidikan agama islam di indonesia, dimana pesantren tempat membina, mendidik santri sehingga mampu dan ahli dalam agama sekaligus menjadi manusia yang memanusiakan manusia (Pakuhumanika).Selain itu, pesantren mampu menjadi agen perubahan sosial dalam pembangunan masyarakat. Hal tersebut semata-mata karena kedekatannya dengan masyarakat akar rumput dan sampai sekarangpun pesantren tetap menarik untuk diteliti dan dikaji.

Politik yang berasal dai Yunani yang mempunyai makna berkaitan dengan serba keteraturan, keindahan dan kesopanan bagi rakyat.Lebih dari itu politik juga dapat diartikan bagaimana cara mengatur tata pemerintahan sehingga dapat mensejahterakan rakyat. Begitu mulia politik sehingga Aristoteles mengatakan bahwa politik adalah Seni Tertinggi untuk mewujudkan kebersamaan sehingga menjadi masyarakat sejahtera dan damai. Tapi realita sekarang politik lebih cenderung diartikan sebagai ajang perkelahian, menjadi seorang gladiator untuk mengalahkan sekaligus menginjak orang lain.

Banyak orang mengangap bahwa kyai dan dunia pesantren merupakan satu hal yang bersifat homogen padahal jika kita telaah lebih dalam kita akan tahu bahwa antara kyai dan pesantren memiliki corak keragaman baik dari segi metodologi pembelajaran yang dikembangkan, mazhab yang dianut dan bahkan pilihan poltik yang diambilpun banyak berbeda.

Kembali kembali kejudul diatas kyai di persimpangan jalan antara pesantren dan politik. Saya melihat sekarang ada beberapa kyai (sebagian kecil) khususnya Kyai NU sudah merasa jenuh dengan permainan politik dan mulai kembali ke lingkungan pesantren tetapi mereka dilematis seperti sisi mata uang yang berbeda. Satu sisi sudah capek dengan politik dan ingin kembali ke khittahnya tapi di sisi lain mereka masih dibutuhkan oleh kyai lain yang asyik berpolitik. Fenomena diatas bisa kita lihat dilingkungan kita sendiri (pengalaman saya). Ada satu Kyai Pesantren (walapun sekelas kyai kampung) dia merasa sewaktu menjadi wakil rakyat justru menjauhkan dia dari dunia pesantren karena kesibukannya dengan eksekutif, dia terlena dengan jargon jargon pejabat sehingga dinina bobokkan oleh kemewahan.

Untuk Kyai yang masih berpolitik marilah kembali ke Khittahnya yaitu dunia pesantren. Walaupun politik dalam islam memang bukan haram hukumnya, tapi yang jelas dunia politik menurut saya bukanlah dunia para Kyai khususnya kyai sepuh,ongkos moralnya sangat mahal bagi martabat kyai. Permainan politik dan perebutan kekuasaan hanya berlangsung pendek. Sementara tradisi dunia pesantren dengan jajaran kyainya telah berumur ratusan tahun. Jangan aset ini terdevaluasi dan tercoreng oleh godaan permainan politik sesaat. Politik itu ibarat permainan Panjat Pinang dimana yang dikorbankan tetap orang bawah (rakyat kecil) yang atas tetap berpesta pora, Janganlah Kyai dengan Dunia Pesantrennya Ibarat mendorong mobil mogok, kalau mobilnya sudah hidup yang dibelakang agak ditinggalkan. Sekali Lagi Untuk para Kyai emani pesantrennya yang sudah mengakar dalam masyarakat.

Sorry tulisan ini mungkin kalimatnya loncat-loncat tapi ini sekedar kata hati saya yang sudah apatis dan pesimis dengan Kyai yang terjun dalam DUNIA POLITIK.

Cukup sekian dulu......

1 komentar:

  1. Saya setuju dengan pendapat bapak.
    Salam jabat erat sialturahmi maya dari kami.

    azha nabil
    http://www.thohiriyyah.com

    BalasHapus