Jumat, 20 Februari 2009

Menanggapi Buku Kiai di Tengah Pusaran Politik, antara Petaka dan Kuasa

Bebarapa hari yang lalu di Radar Madura (Jawa Pos) kita disuguhkan berita pembangkaran buku Kiai di Tengah Pusaran Politik, antara Petaka dan Kuasa karya Ibnu Hajar yang dilakukan oleh kalangan pondok pesantren yang kontra dengan buku tersebut.

Kemarahan santri dan mahasiswa itu disampaikan dalam aksi turun jalan yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Peduli Kyai (AMPK) Sumenep, yang ditempatkan di Taman Adipura depan Masjid Agung Sumenep. Massa tidak saja menghujat penulis buku dengan poster, tetapi juga membakar buku terbitan IRCiSod, Yogyakarta itu.

Komunitas kiai merupakan sesuatu yang sangat khas dalam masyarakat khususnya NU. Mereka bukan saja menjadi panutan dalam kehidupan beragama, tetapi juga dalam kehidupan sosial yang lain, termasuk dalam kehidupan politik. Dalam istilah Peter L Berger (1991) mereka mempunyai hubungan dialektis dengan masyarakat di sekitarnya. Artinya, di satu pihak kiai merupakan produk struktur sosial, namun di lain pihak kiai juga mempunyai peran untuk membentuk struktur sosial. Dengan demikian,dalam perspektif Berger, terdapat hubungan timbal balik antara kiai dan struktur masyarakat di sekitarnya. Masalahnya kemudian adalah bagaimana bentuk dialektika antara kiai, politik dan masyarakat pada saat ini.

Bagaimanapun Kiai adalah pengemban amanah dari nabi yang nota bene mempunyai tanggung jawab dalam segi sosial dalam bahasa kerennya Kiai adalah Social Contral dan urat nadi Penguatan Civil Society. Begitu Ibnu hajar meluncurkan buku Kiai di Tengah Pusaran Politik ada sebagian komunitas kiai (mungkin kiai politik) kebekaran jenggot dan menggugat lewat pembakaran buku Kiai di Tengah Pusaran Politik, antara Petaka dan Kuasa.

Bagi saya sudah saatnya komunitas kiai NU kembali ke khittahnya, kembali kebilik bilik santri mengajarkan tentang akhlakul kharimah, mengedepankan fungsi kontrol sosialnya daripada terjun keranah politik yang kita tahu penuh permainan licik dan culas, tetapi bukan berarti Kiai tidak boleh berpolitik. yang perlu dikembangkan oleh komunitas Kiai (khususnya NU ) bukanlah “politik kekuasaan” yang cenderung menguntungkan para elitenya, melainkan yang jauh lebih fundamental adalah “politik kewargaan” yang coba berjuang bagi terentasnya masyarakat islam khususnya warga NU dari belitan penderitaan dan kemiskinan yang selama ini menderanya.

Untuk para kiai janganlah larut dengan Arus Politik kembali ke Surau Surau bermunajahlah, berzikirlah dengan tasbih jangan dengan HP dan Salut buat Ibnu Hajar yang telah bisa menterjemahkan kegelisahan masyarakat lewat buku Kiai di Tengah Pusaran Politik, antara Petaka dan Kuasa yang membakar buku tersebut mungkin ingin bernostalgia dengan jaman ORDE BARU. Sekian dulu.........

2 komentar:

  1. yap. saya pikir, setidaknya buku itu menjadi terapi kejut agar kiai tidak larut dan terbuai dalam dunia politik.

    BalasHapus
  2. Sebenarnya kenapa kiai bergolak?, bagi kiai yang betul-betul mumpuni, seperti kiai sepuh yang sudah mampu menjembatani kepentingan rakyatnya berpolitik absah, tapi ketika kiai yang masih belum bisa dihormati karena pengabdiannya, tetapi karena ayahnya, itulah yang harus kita sadari sbg penghancur citra kiai, sebab "MOHON MAAF" sebagian dari mereka adalah sosok yang tidak mampu bijak sebagaimana ayahnya.

    BalasHapus